Kamis, 04 November 2010

Jenggotku Identitasku

Jenggotku Identitasku

Tok-tok, samlekom. Seraut wajah terengah-engah, perlahan masuk kedalam kelas periklanan yang baru saja dimulai. Oh, ternyata itu bang bai alias Zulbaili yang hari ini terlambat. Ia tampaknya terliat kelelahan, karena baru saja berlari-lari mengejar labi-labi untuk menuju ke kampus.

Kemudian ia mulai mengambil tempat duduk paling depan dan segera menghela nafasnya sejenak. Perlahan ia mulai mengambil isi tasnya, yang berisi koran dan segera membuka Koran lebar-lebar untuk dibacanya.

Itulah Zulbaili salah satu temanku yang punya prinsip idealis, karena ia memegang teguh prinsip itu dari masa kanak-kanak hingga kini. Sebab menurutnya idealis itu merupakan hak, baik untuk diri-sendiri maupun orang lain.

Zulbaili lahir di Ujong Tanoh, Bakongan 8 Agustus 1987. Bakongan ialah salah satu kecamatan di daerah Aceh Selatan. Kalau orang-orang bilang itu awak “Taluak”. Bang Bai (julukannya) sepintas mirip raja-raja minyak di Arab karena ia punya janggut tebal yang menghiasi dagunya yang agak lancip.

Tapi, kalau kita lihat lagi bang bai dia lebih mirip bintang film Bollywood yang terkenal itu. aduh siapa itu namanya, hmm ya “Hrithik Roshan”. Yang membedakannya hanya ukuran tubuh bang bai saja agak kecil kira-kira 5, 2 kaki. Badannya agak berisi dan punya belahan rambut sepintas mirip pelawak “Tukul Arwana”, hehe.

Ia adalah seorang piatu. Ia ditinggal sang ibu ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Dan Ayahnya ketika SMP. Yang menyisakan kepedihan mendalam baginya. Tertegun aku mendengar ceritanya, dan mataku mulai berkaca-kaca.

Ketika di dalam kelas, Zulbaili merupakan pribadi yang serius dalam mengikuti perkuliahan. Ia selalu kritis dalam menanggapi pernyataan yang disampaikan oleh dosen. Dan tak jarang ia mengkritisi dosen apabila pernyataan dari dosen tidak sesuai dengan apa yang dipahaminya.

Waktu kuliah telah habis. Sambil mengusap-usap jenggotnya yang tebal seolah-olah seperti membaca mantra, ia mulai bergegas keluar pergi ke kantor Badan Eksekutif Mahasiswa (BEMA) untuk mengikuti rapat OSPEK Mahasiswa-mahasiswi Baru.

“Bang Bai, hoe neuk jak?” tanyaku. “Lon neuk jak bak BEMA nyoe na rapat OSPEK,” jawabnya. “Okelah menyoe meunan” kataku sambil mengacungkan jempol.

Esoknya ketika di kampus, kami berkumpul bersama teman-teman di kantin sambil menyantap teh botol dan berbagai jenis kue. Kantin tersebut berada di sudut kiri Biro Rektor, karena kampusku tidak mempunyai kantin. Jadinya kami sering makan-minum disana.

Kemudian kami saling bertanya cita-cita masing-masing teman. Ada temanku yang menjawab ingin menjadi pengusaha setelah ia lulus nanti. Mungkin karena ia orang Sigli yang dikenal sebagai “raja dagang” di Nanggroe Aceh Darussalam. Ada juga yang ingin menjadi pegawai agar nanti ia bisa membantu orang tuanya menyekolahkan adik-adiknya.

Bang Bai kemudian punya jawaban yang tentunya berbeda juga. Ia ingin menjadi jurnalis seperti “Putra Nababan” atau “Jeremy Tetti” yang di TV katanya. Karena kami memang kuliah di jurusan komunikasi hal itu menjadi wajar jikalau ada seorang teman yang ingin menerapkan disiplin ilmu yang telah dipelajari selama kuliah.

Aku mau seperti reporter TV yang menyampaikan berita kepada orang banyak. “Itu kan salah satu amalan baik juga,” ujarnya. Keren juga tampil di TV memakai Jas dan Dasi kemudian dilihat oleh orang banyak apalagi kalau orangtua di kampung melihat kita. Pastinya ia bangga melihat buah hatinya telah sukses menggapai cita-cita yang diinginkan.

Kami yang mendengar lantas diam sejenak, lalu aku kembali melahap sepotong kue donat yang sepertinya tersenyum menatap ke arahku.

“Bro, enteuk seupot jak u kost lon beuh?” kata bang bai.

“Ada apa bai?”, tanyaku.

“Ada kiriman durian dari orang tuaku dikampung”, jawabnya.

“Oh ya? Mantap that nyan”. Kata teman-teman. Jam berapa? “Terserah kalian”, jawabnya.

“Pokoknya aku tunggu di kost.jangan sampai ga datang tuh”, “Sip lah!” jawabku.

Sorenya, kira-kira jam 4 sore kami semua tiba di kost zulbaili. “Ini, makanlah sepuas-puasnya, Aku sudah kekenyangan”, katanya.

“Ayo coba yang ini bro”, “Apa ini bang?”, tanyaku.

Ini namanya “Haluwa”, jawabnya.

Sambil menyantap makanan tersebut, aku melihat kearah bungkus makanan tersebut. Ternyata aku ingat: ini seperti dodol karena dibungkus panjang namun bahannya terbuat dari durian dan berwarna kecoklatan. Hmm, lezatnya.

Tak terasa, dalam sekejap kami telah menghabiskan 5 buah Durian dan 4 bungkus “Haluwa”. Heuuk! Alhamdulillah Terdengar sendawa dari mulut ridha. “Nampaknya kami memang telah mabuk durian”, haha , tawaku. Kemudian kami menenggak segelas air putih agar tidak terasa eneg terus-terusan. Tapi yang pasti durian tadi memang “Ajib”!.

Nampaknya hari mulai senja, dan kami segera berpamitan kepada Bang Bai.

“Sering-seringlah main kesini ya?”.

“Oke”, jawab kami sambil menyalakan sepeda motor yang suaranya mulai sedu sedan mengiringi langkah kami pulang ke kost masing-masing. Tak lupa kami mengucapkan,

“Samlekom” bang. “Komsalam”, jawabnya.

Keesokan hari di kampus, ketika itu mata kuliah Media Grafis yang dibimbing oleh dosen asal Bandung, Pak “Arif Ramdhan” namanya. “Saya absen dulu’ sekarang”, ucapnya. Ketika beliau memanggil nama “Zulbaili”, mana Zulbaili’?”,Tanyanya. “Izin pak”, sahut teman-teman. “Izin kenapa dia? “, tanyanya lagi. “Ikut pelatihan kesehatan Reproduksi pak”, sahut Ela. “Hah, zulbaili ini cowok atau cewek?”, tanya beliau lagi. “Cowok pak, cowok tulen”, jawabku. Haha, seisi kelas sontak tertawa mendengar ucapanku.

Zulbaili’ itu yang gimana orangnya?.

Kenapa ada tanda koma diatas ketika pak arif ramdhan berbicara? Ya, berhubung beliau orang asli sunda. Logatnya memang kental seperti ada akhiran huruf “K” dibelakangnya. Tapi enak didengar ditelinga, mengingatkan aku pada wayang golek khas sunda: “Si cepot Asep Sunarya”.

“Yang orangnya punya jenggot tebal pak, kayak orang Arab tapi ga terlalu putih”, sahutku.

Oh, yang itu? “Rada- rada mirip “Ridho Rhoma” penyanyi dangdut terkenal itu kan?” Ujar beliau.

“ya pak”, jawab kami semua sambil tertawa.

Menjelang liburan semester, Aku dan Kribo merencanakan akan pulang kampung. Karena liburnya sebulan lebih. Lalu aku melihat wajah bang bai hanya termenung.

Kemudian aku bertanya padanya “hana woe u bakongan Bang?”.

“Hana peng bet”, jawabnya. Banyak kali habis biaya untuk pulang kampung seraya melipat Koran yang baru saja dia beli.

Kemudian kami sedikit menghiburnya,

“sabar ya Bang”. “

“Kami sebenarnya juga malas pulang kampung, tapi karena kami takut kehabisan uang, makanya kami memilih untuk pulang kampung saja”, jawabku.

“Iya, aku mau kerja dulu disini selama liburan bro, lumayanlah buat nambah-nambah uang jajan”.

Itulah, karakter bang bai. Pribadi yang santun, namun tak jarang ia juga humoris. Apalagi kalau ia berbicara “bahasa jame”sambil melucu. Walaupun kami tidak mengerti bahasanya, tapi mendengarnya sudah membuat kami terpingkal. Bang bai mampu berbicara bahasa aceh juga bahasa daerahnya sendiri, karena mayoritas orang Aceh Selatan kebanyakan memakai bahasa “Jame” yang mirip bahasa Kota “Jam Gadang” itu.

“Memangnya kerja dimana nanti selama liburan semester bai?”, tanya Ridha padanya. “Kerja di samping MIN Rukoh itu”, jawabnya.

Aku mau kerja bangunan nanti. “Alhamdulillah aku pernah punya pengalaman lah dalam urusan mengerjakan pekerjaan “Kuli” seperti itu”, ujarnya. Uangnya nanti bisa dipakai buat membeli keperluan kampus nantinya.

Salutku buat Zulbaili, tidak hanya pintar dalam urusan berorganisasi tapi juga seorang pekerja keras. Mungkin karena ia merupakan Anak tertua dari 3 bersaudara. Jadi jelas beban berat dipikulnya setelah kedua Orangtuanya meninggal dunia, untuk menjadi sosok yang mampu membimbing adik-adiknya. Sehingga ia banyak belajar dari apa yang telah sang Ibu pesan kepadanya, untuk tidak sombong dan terus bekerja keras demi masa depan.

Kami semua banyak belajar darinya tentang pahitnya kehidupan. Ini akan menjadi sesuatu yang sangat berharga kedepannya kelak. Idealis-pekerja keras dan juga cinta kepada keadilan itulah ciri khas Zulbaili. Dan yang terpenting Cinta Kepada Tuhan yang telah menciptakan kita. Karena hanya kepada-Nya kita meminta dan memohon segalanya, kata bang bai. Itu akan menjadi motivasi kami kedepannya, Amin.***